Taufiq Ismail adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Taufiq Ismail mengungkapkan rahasia di balik karyanya yang berjudul "Beri Daku Sumba".
Puisi yang menggambarkan indahnya wilayah Sumba itu ternyata dibuat sang maestro pada 1970 tanpa pernah berkunjung ke sana sebelumnya. Dia membuatnya berdasarkan cerita teman dan visualisasi pemandangan Uzbekistan. Berawal tahun 68 dari pergaulan saya dengan Umbu Landu Paranggi yang berasal dari Sumba... Dia berkali-kali bercerita tentang Sumba. Taufiq pun menjadi sangat tertarik pada Sumba dan ingin sekali ke sana. Sayangnya, itu tidak kunjung terwujud, dia justru mengunjungi Uzbekistan. Di negara pecahan Uni Soviet tersebut, Taufiq menemukan gambaran keindahan. Kuda-kuda, tanah luas, dan juga pantai, persis seperti Sumba yang ada dalam bayangannya selama ini. Dari situlah dia terinspirasi membuat puisi "Beri Daku Sumba", sebagai perlambang harapan bisa segera mengunjungi pulau di Nusa Tenggara Timur itu. Taufiq akhirnya menginjakkan kakinya di Sumba sekitar 20 tahun setelah puisinya dibuat. Itu adalah satu-satunya pengalaman baginya berkunjung ke sana.
BERI DAKU SUMBA
Oleh Taufik Ismail
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Oleh Taufik Ismail
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar