Kamis, 18 Desember 2014

KERAJAAN-KERAJAAN DI SUMBA 

masyarakat Sumba pada umumnya tidak ada yang namanya kerajaan dalam sistem pemerintahan tradisional mereka. Yang ada hanya kampung-kampung yang di pimpin oleh seorang kepala kampung masing-masing, aturan adat yang berlaku pun berdasarkan peraturan adat yang berlaku di setiap kampung itu. Namun pada saat penjajahan belanda untuk mempermudah kontrol, Belanda mulai membangun hubungan dengan para kepala-kepala kampung.Mereka melakukan kontrak kerjasama, dimana setiap penguasa tradisional yang menandatangani kontrak (sering disebut Kontrak Plakat Pendek atau Korte Verklaring) diakui secara resmi dan disebut raja lalu diberi tongkat sebagai tanda kekuasaan. Dari sinilah kata tokko (tongkat) menjadi populer. Ada dua jenis tongkat yakni tongkat berkepala emas(tokko ndoko) yang diberikan kepada raja utama, dan tongkat berkepala perak (tokkoamaho kaka)untuk raja bantu (Widyatmika, dkk, 2011)

Raja yang mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda harus mengakui kedaulatan penguasa Belanda dan salah satu tugas pentingnya adalah menarik pajak untuk kepentingan Belanda. Dengan demikian kedaulatan mereka sebetulnya telah berada di bawah penguasaan bangsa lain, namun secara de facto raja-raja tersebut tetap berdaulat dan sangat dihormati oleh rakyatnya dan melalui mereka Belanda menancapkan kekuasaan kepada seluruh masyarakat. Pada mulanya ada kepala-kepala kampung yang tidak tunduk dan melawan kepada pemerintahan belanda, namun karena kekeuatan militer yang kuat mereka akhirnya menyerah dan tunduk pada kekuasaan belanda.

daftar kerajaan atau Swapraja yang berada di sumba, yaitu :

1. Kodi Bangedo: kerajaan di Sumba Barat Daya
Kerajaan Kodi Bangedo.
1902 Kerajaan Kodi dibentuk.
1905 Kodi dibagi Menjadi Kodi-Bengedo dan Kodi-Bokol.
1931.
Kodi-Bengedo
Raja (Rato)
1902 – 1912: Hemba
1912 – 1915: Vacant
1915 – 1919: Rya Pote
1919 – 1929: Rangga Bodo –Bupati
1929 – 1931: Lengga Kendoe
1929 – 1931: David Boelan –Bupati

2. Kodi Bokol: kerajaan di Sumba Barat Daya 
Kerajaan Kodi Bokol.
1902 Kerajaan Kodi dibentuk.
1905 Kodi dibagi menjadi Kodi-Bengedo dan Kodi-Bokol.
1931 
Kodi-Bokol 
Raja (Rato)
1905 – 1911: Loge Kandua
1912 – 1931: Dera Wula

3. Kodi : kerajaan di Sumba Barat Daya
Kerajaan Kodi
Sejarah 
Kerajaan Kodi dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 3 Mei 1913. Pemerintah Belanda sebetulnya sudah mengajukan penandatangan Korte Verklaring pada tahun 1908 namun di tolak oleh Rato Loghe Kandua, raja Kodi Bokol yang saat itu berkuasa. Penolakan ini mendapat reaksi keras dari Belanda dan pada akhirnya memicu munculnya perlawanan rakyat dibawah pimpinan Wona Kaka.
Sebelum tahun 1912 di wilayah Kodi terdapat dua kerajaan yaitu kerajaan Kodi Bokol dan kerajaan Mbangedo. Pada tahun 1915 wilayah Rara dan Ede dilepas dari kerajaan Mbangedo dan digabungkan dengan kerajaan Wewewa, begitu pula wilayah Gaura digabungkan dengan kerajaan Lamboya.
Pada tahun 1919 raja Mbangedo, Rija Kanda, meninggal dunia dan digantikan oleh Rangga Kura. Tahun 1929 Rangga Kura digantikan oleh Rya Bokola samapi tahun 1931. Selanjutnya kerajaan Mbangedo digabung dengan kerajaan Kodi dibawah kekuasaan raja Kodi waktu itu, Dera Wula. Untuk wilayah kerajaan Mbangedo sendiri diangkat seorang raja bantu, yaitu Tari Loghe. Sewaktu beliau wafat digantikan oleh Hermanus Rangga Horo. Raja bantu ini kemudian diangkat menjadi raja Kodi menggantikan Dera Wula yang meninggal dunia pada tahun 1945. Hermanus Rangga Horo menjabat sebagai raja Kodi sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan.
Daftar raja 
1931 – 1943: Dera Wula
1943 – 1962: Hermanus Rangga Horo (b. 1903 – d. 1985)

4. Laura: kerajaan di Sumba Barat Daya
Kerajaan Loura.
Daftar raja /(Rato) 
1862 Kerajaan Loura dibentuk 
1862 – 1901: Umbu Lele Kandi
1901 – 1909: Lende Nggolo Ghola I (d. 1909)
1909 – 1911: Vacant
1911 – 6 Feb 1928: Mbulu Danggargara
1928 – 1932: Timoteus Tako Geli
1932 – 1947: Rua Kaka –Regent
1932 – 1961: Lende Nggolo Ghola II(Lede Kalumbang)

5. Waijewa: kerajaan di Sumba Barat Daya.
Kerajaan Wewewa dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 23 Desember 1913.
Kerajaan ini terdiri dari beberapa wilayah adat, yaitu Lewata, Mangutana, Mbaliloko, Pola, Weemangura, Taworara, Rara, Ede dan Tanamaringi. Pada saat Korte Verklaring ditandatangani yang menjadi raja adalah Mete Umbu Pati. Setelah meninggal dunia beliau digantikan oleh putranya, Mbulu Engge.
Tahun 1934 Mbulu Engge dibuang ke Sumbawa Besar karena terlibat perkara hukum. Sejak itu kerajaan Wewewa dibagi menjadi tiga wilayah kesatauan yang semuanya berada di bawah sebuah Komisi Pemerintahan yaitu: wilayah Lewata-Mangutana yang diperintah oleh raja Wada Mbombo, wilayah Weemanguradengan raja bantu Gidion Mbulu serta wilayah Pola (Palla) dengan raja bantu Jakub Inangele.
Komisi ini berada dibawah pengawasan raja Louli, Koki Umbu Daka. Setelah kembali dari pembuangan, Mbulu Engge kembali terpilih menjadi raja Wewewa sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan di tahun 1962.
Daftar raja
1879 Kerajaan Wewewa dibentuk 
1879 – 1912: Luku Lewa
1912 – 1934: Malo Umbu P

6. Lauli: kerajaan di Sumba Barat.
Kerajaan Lauli dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 25 April 1923 (8 September 1912).
Sejarah 
Kerajaan ini terdiri atas tiga wilayah adat yakni Lauli Bodo, Lauli Bawa dan Waibanggga. Sebelum tahun 1912 raja Kerajaan Lauli adalah Umbu Ngailu Beku, kemudian digantikan oleh Dangi Lade, raja Lauli Bawa. Setelah raja Dange Lade meninggal dunia di tahun 1920, di masing-masing wilayah adat diangkat seorang raja kecil atau raja bantu (regent) tersendiri yakni Raja Toda Leru untuk wilayah Lauli Bodo, Raja Keba Buningani di wilayah Lauli Bawa dan Raja Giku Umbu Wolika untuk wilayah Waibangga.
Ketiganya merupakan suatu Komisi Pemerintahan Kerajaan Lauli. Pada tahun 1927 raja bantu Louli Bawa, Keba Buningani digantikan oleh raja Koki Umbu Daka. Raja Giku Umbu Wolika dari Waibangga digantikan oleh Raja Lede Mude. Pada tahun 1932 raja Koki Umbu Daka menjadi raja untuk seluruh Kerajaan Lauli sampai Komisi Pemerintahan Kerajaan Lauli dihapus, namun untuk wilayah Waibangga masih diangkat seorang raja bantu yaitu Dato Goro, menggantikan Raja Lede Mude. Tahun 1940 Raja Koki Umbu Daka meninggal dunia dalam suatu kecalakan mobil. Pada tahun 1941 posisinya digantikan oleh raja Saba Ora yang menjabat sebagai raja sampai terjadinya perubahan pemerintahan.

7. Wanokaka: kerajaan di Sumba Barat.
Kerajaan Wanukaka dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 12 Mei 1913 (10 Desember 1914) yang ditandatangani oleh raja Baju Padedangu.
Sejarah 
Sebelumnya wilayah Wanukaka berada dibawah kekuasaan raja Mawu Madoli, kemudian digantikan oleh raja Ludju Maramba. Setelah Ludju Maramba wafat kedudukannya digantikan oleh raja Baju Padedangu. Tahun 1928 Raja Baju Padedangu menyusul keharibaan Sang Pencipta dan digantikan oleh Raja Goling Manyoa yang menjabat sampai tahun 1956. Ia digantikan oleh adiknya, Lawu Mawu sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan.
Daftar raja 
18.. – ….: Mawa Madoli 
…. – 1912: Luju Meramba Dungu
1912 – 1914: Kiring Semara
1914 – 1926: Baju Padedangu
1926 – 1928: Vacant
1928 – 1956: Guling Manyoba
1956 – 1962: Lau Mau
18.. – ….: Mawa Madoli 
…. – 1912: Luju Meramba Dungu
1912 – 1914: Kiring Semara
1914 – 1926: Baju Padedangu
1926 – 1928: Vacant
1928 – 1956: Guling Manyoba
1956 – 1962: Lau Mau

8. Gaura: kerajaan di Sumba barat.
Pada mulanya wilayah Gaura merupakan wilayah kekuasaan kerjaaan kodi bangedo, pada tahun 1912 mereka memisahkan diri dari kerajaan kodi bangedo dan bergabung dengan kerajaan Laboya. Gaura merupaka kerajaan kecil di bawa kekuasaan kerajaan Laboya.

9. Laboya: kerajaan di Sumba barat.
Kerajaan Laboya.
Sejarah
Kerajaan Laboya dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 23 Desember 1913. Pada tahun yang sama Kedu Moto diangkat menjadi raja. Seperti Kerajaan Louli, Kerajaan Lamboya juga terdiri dari tiga wilayah kekuasaan adat yakni Lamboya Deta, Lamboya Wawa dan Patiyala. Pada tahun 1915, wilayah Garoatau Gaura yang tadinya berada diwilayah Kerajaan Mbangedo dilepasdan digabung dengan wilayah Kerajaan Lamboya.
Di wilayah ini pernah terjadi perlawanan rakyat dibawah pimpinan Tadu Moli sebagai reaksi atas pajak yang tinggi dan kerja paksa. Letnan de Neeve tewas ditempatini ketika sedang memungut pajak. Pada tahun 1924, raja Kedu Moto terlibat suatu perkara hukum dan dibuang keluar pulau. Sejak saat itu masing-masing wilayah adat diperintah oleh seorang raja bantu atau regent, yaitu: Eda Bora di Lamboya Deta, Jewu Gara di Lamboya Wawa dan Mati Kaba di Patiyala.
Semuanya merupaka bagian dari suatu Komisi Pemerintahan Kerajaan Lamboya. Setelah Perang Dunia II, yang bertahan tinggal raja Edu Bora yang kemudian digantikan oleh putranya, Songa Lero.
Daftar raja 
1892 Kerajaan Lamboya dibentuk 
1892 – 1906: Mati Koja
1906 – 1908: Jawa Kalaga
1908 – 1924: Kedu Moto
1924 – 1951: Eda Bora
1951 – 1962: Songa Lero (d. 1996)

10. Kerajaan Anakalang di Sumba Tengah
Kerajaan Anakalang dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” pemerintah belanda, tanggal 23 Desember 1913.
Sejarah 
Sebelum “Korte Verklaring” wilayah Anakalang diperintah oleh Umbu Dangu Pasalang yang berkuasa dari tahun 1892 -1897, kemudian digantikan oleh Umbu Ndongu Ubini Mesa. Tahun 1913 Umbu Ngailu Dedi yang adalah putra Umbu Ndongu Ubini Mesa naik tahta menggantikan ayahnya. Tahun 1927 Umbu Ngailu Dedi meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya, Umbu Sappi Pateduk. Selanjutnya Umbu Sappi Pateduk digantikan oleh putranya, Umbu Remu Samapaty yang kelak setelah kemerdekaan menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Sumba Barat selama dua periode.
Daftar raja 
…. – 1913: Umbu Dongu Ubini Mesa (d. 1913)
1913 – 1927: Umbu Ngailu Dodi
1927 – 1953: Umbu Sapi Pateduku
1953 – 1962: Umbu Remu Samapati I

11. Umbu Ratu Nggay: kerajaan di Sumba Tengah.
Kerajaan Umbu Ratu Nggai.
Daftar raja 
c.1880 Kerajaan Lawonda dibentuk
berganti nama menjadi Umbu Ratu Nggai.
c.1880 – 1913: Umbu Bili
1913 – 1932: Umbu Siwa Sambawali I
1932 – 1935: Umbu Mbili Nggemunasu
1935 – 1949: Umbu Sakala Maramba Jawa
1949 – 1962: Umbu Siwa Sambawali II

12. Tapundung: kerajaan di Sumba Tengah.
Kerajaan Tapundung.
Daftar raja 
…. – ….: Umbu Kaputing 
…. – ….: Umbu Hunga
…. – c.1870: Umbu Nggaba (d. c.1870)
c.1870 – 1900: Umbu Manja Mehang
1900 – 1917: Umbu Tunggu Namu Praing
1917 – 1931: Umbu Dai Litiata
1931 – 1956: Umbu Hunga Wohangara
1956 – 1962: Umbu Manja Mehangu
…. – ….: Umbu Kaputing
…. – ….: Umbu Hunga
…. – c.1870: Umbu Nggaba (d. c.1870)
c.1870 – 1900: Umbu Manja Mehang
1900 – 1917: Umbu Tunggu Namu Praing
1917 – 1931: Umbu Dai Litiata
1931 – 1956: Umbu Hunga Wohangara
1956 – 1962: Umbu Manja Mehangu

13. Mamboru: kerajaan di Sumba Tengah.
Kerajaan Mamboru dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 28 September 1916.
Sejarah 
Sebelum Kerajaan Mamboru diperintah oleh raja Umbu Pombu Saramani. Beliau meninggal dunia pada tahun 1915, ketika itu putranya, Umbu Mbatu Pakadeta alias Umbu Tuaranjani alias Umbu Muhama masih kecil, sehingga untuk sementara kedudukan raja digantikan oleh putra saudara sepupunya, Umbu Karai. Umbu Muhama mengambil alih kekuasaan pada tahun 1929 setelah Umbu Karai meninggal dunia. Namun kekuasaannya tidak bertahan lama, karena dianggap kurang cakap, pada tahun 1932 Umbu Muhama digantikan oleh saudaranya, Umbu Dondu Rawambaku. Umbu Dondu juga tidak bertahan lama. Ia terlibat dalam suatu perkara hukum sehingga pada tahun 1934 dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Timotius Umbu Tunggu Bili sampai bergantinya sistem pemerintahan di tahun 1962. Sebelum tahun 1915 wilayah Bolubokat merupakan bagian kerajaan Mamboru namun kemudian digabung dengan kerajaan Umbu Ratu Nggay. Kerajaan Mamboru sendiri mendapat tambahan wilayah Tana Righu yang semula merupakan bagian kerajaan Loura.
Walau tokoh-tokohnya tetap memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat, sebagaimana adanya mereka sebelum dikukuhkan sebagai raja oleh Belanda, namun wacana tentang kerajaan perlahan memudar seiring berakhirnya kekuasaan Belanda, terlebih lagi setelah terbentuknya pemerintahan Kabupaten, dimana sebagian besar wilayah yang tadinya disebut kerajaan beralih bentuk menjadi kecamatan.
Daftar raja 
c.1845 Kerajaan Memboro dibentuk.
c.1845 – c.1863: Umbu Nombu
c.1863 – 1869: Umbu Ndala Sombangu
1870 – 1897: Umbu Laki Mbali
1898 – 2 Jan 1915: Umbu Pombu Saramani I
2 Jan 1916 – 1929: Umbu Karai
1929 – 1932: Umbu Mahama
1932 – 1933: Umbu Dondu
1934 – 1962: Umbu Tunggu Mbili

14. Lawonda: kerajaan di Sumba Tengah.
Kerajaan Lawonda dikukuhkan dengan “Korte Verklaring” tanggal 28 September 1916.
Sejarah 
Pada awalnya Kerajaan Lawonda melingkupi suatu wilayah adat yang tidak seberapa luas. Di tahun 1915, wilayah Mbolubokat dilepas dari kerajaan Mamboru dan digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Begitu juga dengan wilayah Lenang, Soru dan Lakoka yang semula berada dalam wilayah kerajaan Napu digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Selanjutnya wilayah Wairasa dan Parewatana juga dilepas dari kerajaan Anakalang dan digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Wilayah kerajaan inipun menjadi sangat luas dan berganti nama menjadi kerajaan Umbu Ratu Nggay, mengikuti nama seorang leluhur yang dianggap dapat mewakili seluruh wilayah gabungan itu.
Raja Umbu Ratu Nggay yang pertama adalah Umbu Siwa Sambawali I, yang sebelumnya menjabat sebagai raja Lawonda. Beliau wafat di tahun 1932 dan digantikan putranya,Umbu Mbili Nggemunasu. Karena dianggap kurang cakap, ia diberhentikan dan diganti oleh adiknya, Umbu Tipuk Marisi alias Umbu Siwa Sambawali II. Di tahun yang sama Umbu Tipuk Marisi dilantik sebagai Bupati Kepala Daerah/Ketua Dewan Raja-raja Sumba dan Habil Hudang ditunjuk mewakili beliau menjalankan pemerintahan seharihari di Umbu Ratu Nggay. Pada jaman kemerdekaan Umbu Tipuk Marisi dipilih menjadi Kepala Daerah pulau Sumba.
Daftar raja 
c.1880 Kerajaan Lawonda didirikan.
Berubah nama menjadi Umbu Ratu Nggai.
c.1880 – 1913: Umbu Bili
1913 – 1932: Umbu Siwa Sambawali I
1932 – 1935: Umbu Mbili Nggemunasu
1935 – 1949: Umbu Sakala Maramba Jawa
1949– 1962: Umbu Siwa Sambawali II

15. Lakoka: kerajaan di Sumba Tengah
(tidak ada data tentang kerajaan ini namun ia termasuk dalam daftar 782 kerajaan di nusantara)

16. Rende, Rendi: kerajaan di Sumba Timur.
Kerajaan Larende.
Daftar raja 
1893 Kerajaan Rende (Rendih) dibentuk.
c.1912 Berubah nama menjadi Larende.
1893 – 1918: Umbu Hina Marumata
1918 – 1932: Umbu Lili Kani Paraing
1932 – Dec 1960: Umbu Hapu Hamba Ndina (d. 1960)
1960 – 1962: Umbu Wanggi Keimawleu(Umbu Kubu)(d.1992)
1960 – 1962: Umbu Joenggoe Mbili 

17. Napu: kerajaan di Sumba Timur.
Kerajaan Napu.
Daftar raja 
c.1860 Kerajaan Napu dibentuk 
c.1860 – 1870: Umbu Kambara Windi
1870 – 18..: Umbu Dai Kudu
18.. – 1890: Umbu Renggi Taai
1890 – 12 Feb 1910: Umbu Timbu Nduka Laki Mora
1910 – 27 Aug 1914: Umbu Rawa
1914 – 1927: Umbu Landu Kura
1927 – 1928: Umbu Rada
1928 Digabungkan dengan Kapunduk. 

18. Menyili: kerajaan di Sumba Timur.
Kerajaan Manyili
Daftar raja 
c.1699 Kerajaan Manyili dibentuk 
c.1699 – c.1725: Mandi
c.1725 – c.1750: Tajuka
1750 – ….: Umbu Tanga Ndemalulu
…. – 1860 ….:
1860 – 18..: Umbu Mangku
18.. – c.1899: Umbu Dena Lukamara
1901 – 1911: Umbu Hina Hunggawali
1911 – 1916: Umbu Tungu Eta (d. 1916)
1912  Manyili bergabung dengan Waijilu.
1916 wilayah sisa digabungkan dengan Larende

19. Melolo: kerajaan di Sumba Timur.
Kerajaan Melolo
Daftar raja / list of kings
17.. – 1750: Umbu Siwa Tanangunju
1750 – c.1776: Gallang
c.1776 – ….: Umbu Hin Hamatake I
…. – 1862: Umbu Nggala Lili
1862 – 1866: Umbu Nggaba Haumara I
1866 – c.1890: Umbu Tanggu Rami
c.1890 – 1892: Ama Luji Dimu
1892 – 1893: TaE Tunggu Rawe
1893 – 17 Jul 1932: Umbu Hia Hamatake II
1932 – 11 Sep 1946: Umbu Hina Janggakudi(d. 1946)
1946 – 1959: Umbu Nggaba Haumara II (d.1961)
1959– 1962: Umbu Windi Tanan Nggunju (d.1980)

20. Karera : kerajaan di Sumba Timur
Massu 
1892 Kerajaan Karera dibentuk 
Raja
1892 – 1897 Umbu Mutu Damunamu
1897 – c.1912 Umbu Haru Halomatu

21. Massu : kerajaan di Sumba Timur
Kerajaan Massu
1909 Kerajaan Massu dibentuk 
Raja
1909 – c.1912 Umbu Ndawa Hawula (Umbu Nai Laki)

22. Massu Karera: kerajaan di Sumba Timur
Kerajaan Massu dan Karera
c.1912 Massu digabungkan dengan Karera sebagai Massu-Karera. 
Raja
c.1912 – 1932 Umbu Ndawa Hawula
1932 – 1954 Umbu Nengi Landumeha (Umbu Nai amba)
1954 – 1962 Umbu Hina Pekambani (Umbu Maramba)

23. Lewa: kerajaan di Sumba Timur.
Kerajaan Lewa.
Daftar raja 
c.1750 Kerajaan Lewa dibentuk.
c.1750 – 1756: Pura
1756 – …. Umbu Hina Hanggu Wali
…. – …. Umbu Nggala Lili Kani Paraingu
…. – 1874: Umbu Diki Kama Pira Ndawa I
1874 – 1891: Umbu Tunggu Maramba Namu Paraingu
1892 – 1917: Umbu Jawa Karai Manjawa (Umbu Bidi Tau)
1902 – 1913: Umbu Tunggu Namu Paraing –Regent
1917 – 1924: Umbu Nggaha Hau Mara (d. 1924)
1924 – 1940: Umbu Diki Kama Pira Ndawa II (Umbu Rarameha)
1924 – 1930: Umbu Nggaba Hunga -Regent (d. 1930)
1940 – 1965: Umbu Nggaba Hungu Rijhi Eti (b. 1901)
1965 – c.2002: Masa peralihan pemerintahan
c.2002 – Umbu Ndjaka

24. Waijelu: kerajaan di Sumba Timur. 
Kerajaan Waijelu.
Daftar raja 
1892 Kerajaan Waijelu dibentuk 
1892 – 1898: Umbu Nggaba Kalai
1899 – 1927: Umbu Tanga Teulu Ata Kawau
1927 – 1932: Umbu Tanga Teulu Jawa Pangu
1932 – 1942: Umu Yiwa Ngganja
1942 – 1948: Vacant
1948 – 1962: Umbu Kambaru Windi

25. Tanah Riung: kerajaan di Sumba Timur.
(tidak ada data tentang kerajaan ini namun ia termasuk dalam daftar 782 kerajaan di nusantara)

26. Kambera: kerajaan di Sumba Timur. 
Kerajaan kambera merupakaan kerajaan terluas di antara semua kerjaan yang berada di sumba timur maupun di sumba tengah dengan rajanya umbu tunggu. Umbu tunggu adalah seorang raja yang berkuasa di sumba timur dan sumba tengah. (injil dan marapu, hal 154)

27. Kanatang: kerajaan di Sumba timur.
Kerajaan Kanatang.
Daftar raja 
1848 Kanatang dibentuk 
1848 – 1891; Umbu Nggaba Hambangu Mbani
1892 – 1897: Umbu Maramba Kambaru Windi Maru Mata
1898 – 27 Apr 1913: Umbu Gaa Lili
27 Apr 1913 – 1919: 
1919 – 9 Sep 1946: Umbu Nai Haru(RajaKapunduk)
16 Sep 1946 – 1959: Umbu Janggatera
1959 – 1962: Umbu Kadambungu Nggedingu

28. Kapunduk: kerajaan yg berada di Sumba Timur.
Kerajaan Kapunduk.
Daftar raja 
c.1869 Kapunduk dibentuk 
c.1869 – 1901: Umbu Panda Huki Landu Jama (b. c.1834 – d. 1901)
1901 – 1904: Umbu Tunggu Namu Praing
1904 – 1916: 
1906 – 1914: Umbu Deu Jara Belu
1914 – 1926: Umbu Nai Taku
1926 – 9 Sep 1946: Umbu Nai Haru
1946 Digabungkan dengan Kanatang.

Minggu, 14 Desember 2014

Batu Kubur Megalitik di Sumba

Kubur batu merupakan warisan budaya megalitik di Tanah Sumba yang masih bertahan hingga sekarang bersama lestarinya aliran kepercayaan Marapu yang dianut warga Sumba. Kubur batu atau batu kubur dalam istilah arkeologi disebut dolmen biasanya berbentuk bejana (kabang) maupun watu pawa’i. Dalam budaya prasejarah, kubur batu merupakan budaya megalitik muda yang berkembang di Nusantara menjelang tarikh Masehi. Para arkeolog memberikan julukan kepada pulau Sumba yaitu The Living Megalithic Culture, tidak berlebihan juga karena tradisi megalitik (batu besar) yang muncul sekitar 4500 tahun lalu masih setia dipraktekkan. Kubur batu di sini senantiasa dibuat besar dan megah, selain sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur juga sebagai cerminan status pemiliknya.

Berdasarkan bentuknya tinggalan megalitik di Sumba dapat dibedakan menjadi enam jenis yaitu:
1. Watu pawa'i
Batu kubur besar berupa meja batu (dolmen) yang ditopang oleh beberapa batu bulat yang berfungsi sebagai kaki atau penyangga. Watu pawa'i ada yang berkaki 4, bekaki 6 bahkan ada pula yang berkaki banyak. Biasanya menjadi kuburan raja-raja dan golongan bangsawan. Akan tetapi watu pawa'i ini tidak selalu menjadi kuburan, ada juga yang dibangun hanya sebagai monumen agung. Yang berfungsi sebagai kuburan biasanya dilengkapi batu kubur berukuran lebih kecil yang ditempat persis di bawah watu pawai. 
2. Watu Kuoba 
Berupa batu utuh yang dipahat membentuk peti dengan lempengan batu lebar sebagai penutup. Batu jenis ini ada yang berhias ada pula yang tidak. Pola hiasnya lebih sederhana dan terletak pada bagian peti batu. Ko'ang umumnya dipakai sebagai kuburan golongan menengah dan keluarganya.
3. Koro Watu
Batu kubur jenis ini terbentuk dari 6 lempengan batu yang disusun menjadi peti batu. 1 sebagai dasar, 1 sebagai penutup dan 4 lainnya diletakkan di masing-masing sisi. Koru Watu biasanya langsung diletakkan di atas tanah tanpa perlengkapan lainnya.
4. Kurukata
varian lain dari Koro Watu dengan dua lempeng penutup bagian atas yang ditumpuk jadi satu.
5. Watumanyoba
Bentuknya sederhana, hanya berupa lempengan batu tanpa kaki yang langsung diletakkan di tanah. Ada beragam model Watumanyoba: lempengan segi empat, persegi panjang, bulat telur dan lainnya. Watumanyoba umumnya digunakan sebagai kuburan para hamba, sehingga sering kali ditemukan bersisian dengan kuburan para raja.
6. Kaduwatu 
Batu tegak lurus (penji) berhiaskan beragam ukiran. Biasanya merupakan pasangan batu kubur lain, terutama dari jenis Watu Pawa'i. Berfungsi sebagai pernanda arah kepala atau kaki si mayat sekaligus sebagai simbol bangsawan. 
Upacara tarik batu merupakan rangkaian prosesual dari upacara penguburan tradisi megalitik, yang berlangsung secara eksotis, karena sudah jarang terjadi dan berlangsung di tengah masyarakat modern, yang dibalut pekat dalam tatanan budaya megalitik, budaya batu besar yang berasal dari akhir masa prasejarah. Sebelum menginjak pada upacara tarik batu tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan jenis-jenis bangunan megalitik di kedua daerah tersebut, demi diperolehnya gambaran yang lebih intens tentang pemujaan arwah leluhur, benda-benda megalitik, dan upacara tarik batu dalam proses pendirian bangunan-bangunan batu besar tersebut. 
Tinggalan-tinggalan megalitik di Sumba sebagian besar berwujud kubur-kubur watu pawa'i berupa kubur batu besar berbentuk meja batu (dolmen) yang ditopang beberapa batu bulat sebagai penyangga berjumlah 4 atau hingga lebih. 
Budaya megalitik di Pulau Sumba bukan hanya terlihat jelas dari kubur batu melainkan juga diresapi secara nyata dari aliran kepercayaan Marapu yang mereka anut. Kepercayaan asli orang Sumba ini bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang serta meyakini roh-roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dan Sang Pencipta. Oleh karena itu, orang Sumba tidak pernah bisa jauh dari kerabat yang telah meninggal dan untuk menjaga kedekatan itu mereka mendirikan batu kubur tepat di depan rumahnya. Rumah adat dan batu kubur merupakan satu paket adat budaya Sumba yang tidak terpisahkan, rumah sebagai tempat tinggal yang masih hidup dan batu kubur sebagai tempat tinggal yang telah telah meninggal. Letak kubur yang umumnya di depan rumah juga menjadikan keluarga yang masih hidup senantiasa teringat kepada leluhurnya yang telah meninggal dan memudahkan mereka untuk mengirim doa dan sesaji (sirih pinang). 
Prosesi penarikan kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton. Mereka bekerja tanpa imbalan uang, namun penyelenggara upacara berkewajiban menyediakan konsumsi makanan selama upacara berlangsung dan menyediakan hadiah daging bagi para penarik batu. 
Batu kubur ini sendiri bukan hanya menjadi salah satu elemen penting dalam upacara kematian dan juga bukan hanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Sumba. Akan tetapi batu kubur ini juga menjadi alat atau benda yang dapat membuat status sosial seseorang menjadi tinggi atau berbeda dengan orang lain. Hal ini dikarenakan tidak semua golongan masyarakat yang dapat membuat dan memiliki batu kubur tersebut, karena dalam proses pembuatan sampai pada proses penarikannya membutuhkan biaya yang sangat besar, waktu yang relative lama dan juga membutuhkan tenaga yang sangat banyak. Oleh karena itu orang yang ingin membuat batu kubur ini perlu perencanaan yang matang dan dukungan penuh dari keluarga dan kerabat, sehingga bisa memperoleh hasil yang maksimal. 
persiapan upacara tarik batu dilakukan lebih rumit dan memerlukan persiapan matang karena obyek yang ditarik adalah batu kubur yang berukuran besar dan sangat berat. Di lokasi asal batu, beberapa tukang kayu membuat dua gelondong kayu bulat utuh yang ukurannya disesuaikan dengan batu yang akan ditarik. Kedua ujung kayu disatukan dan dibentuk menyerupai kepala kuda diberi kerangka kayu berbentuk empat persegi panjang mengelilingi batu. Paji adalah bentangan kain berwarna putih, sedangkan bendera berupa kain-kain tenun motif asli Sumba yang merupakan sumbangan dari para kerabat. Paji dan bendera memiliki makna untuk ”memayungi” kubur agar selalu dingin dan teduh. Di Sumba, sesaat sebelum acara tarik batu dimulai, pemimpin proses tarik batu. Di atas batu disiapkan gong dan beduk sebagai alat musik untuk memberikan semangat kepada para penarik batu. Saat penarikan batu, sebagai alas digunakan kayu bulat sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda. Kayu-kayu bulat dengan diameter bervariasi tapi memiliki panjang rata-rata empat meter diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi seluruh jalan, karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali di depan hingga batu mencapai tempat pendirian kubur. 
Bagi orang Sumba, menyiapkan kubur batu sebagai tempat peristirahatan terakhir merupakan satu kebutuhan. Sungguh merupakan satu kebahagiaan yang sempurna, jika pada saat hidupnya, orang Sumba melihat secara langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak. Sebuah kubur batu yang megah dipercaya menjadi semacam kendaraan yang akan mengantar si mati ke dunia yang kekal. Melihat sebuah kubur yang kelak akan dipakai sebagai tempat jenazahnya, mendatangkan rasa nyaman dan prestise tersendiri, terlebih jika kubur tersebut terbuat dari monolith besar yang untuk menarik dan membuatnya menjadi kubur memerlukan biaya yang sangat besar. 
Pada masyarakat yang mengagungkan para leluhur, upacara kematian menduduki tempat yang istimewa. Mereka tidak segan mendedikasikan harta benda yang dimiliki untuk memuliakan arwah leluhur. Memotong banyak hewan kurban seperti kerbau dan babi hutan, telah menjadi sesuatu yang esensi, yang diyakini akan memperlancar perjalanan arwah ke alam baka. 
Seiring perkembangan Zaman seperti saat ini, Budaya pembuatan serta penarikan batu kubur pada masyarakat sumba sudah sangat jarang ditemukan,hal ini dikarenakan oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat saat ini yang merupakan akibat dari globalisasi, sehingga yang dapat melakukan upacara pembuatan dan penarikan batu kubur ini hanyalah keluarga bangsawan atau keluarga tertentu saja. 
Sebagian besar masyarakat Sumba sudah mulai menggunakan batu kubur yang terbuat dari beton.Hal ini sudah sangat jauh berbeda dengan budaya batu kubur besar ( megalitik ) yang sesungguhnya. Meskipun pembuatan batu kubur dengan bahan beton itu dibuat sangat mirip dengan batu kubur yang asli,namun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ritual pembuatan hingga penarikan batu kubur yang sesungguhnya sudah berkurang dan bahkan tidak ada nilai budayanya sama sekali,karena ritual pembuatan dan penarikan batu kubur yang sesungguhnya sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya para leluhur nenek moyang masyarakat Sumba.

Selasa, 09 Desember 2014

Jejak majapahit di sumba

Dalam Pupuh ke XIV Negarakertagama oleh Mpuh Prapanca (1365) disebutkan bahwa LIYA Wangi-Wangi adalah daerah Kuni termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, ‘’….Ingkang sakasanusa Makasar Butung (Buton) Banggawai, Kuni Gga-LIYA-o mwang i(ng) Salaya (Selayar island) Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan (Bandaneira) Ambwan (Ambon) athawa Maloko (Maluku) Ewaning (Wanin/West Papua) ri Sran (Seram) in Timur (Timor) makadi ning angeka nusatutur

Dalam Pupuh ke XIV Negarakertagama oleh Mpuh Prapanca (1365) jelas menuliskan bahwa wilayah sumba merupakan daerah kekuasaan kerajaan majapahit. Namun tidak adanya bukti penunjang tertulis lainnya yang menuliskan tentang jejak kerajaan majapahit dan maha pati gajah mada di sumba. Ada beberapa deretan nama di Sumba yang mirip atau sama dengan nama-nama jawa zaman Majapahit. Nama orang, gelar, nama benda, bentuk rumah, alat senjata, alat kerawitan dan beberapa upacara ritus. Jejak Majapahit dengan Mahapati Gajah Mada di Sumba hanya samar-samar dikisahkan dari mulut ke mulut dan beberapa cerita rakyat.

Beberapa jejak majapahit di Sumba, yaitu : 
1. Ditemukan pohon Maja (Sumba: bila) dalam jumlah besar hampir diseluruh pesisir Sumba, lalu dituturkan, bahwa pohon tersebut ditanam oleh Gajah Mada ketika pertama kali mendarat di pulau Sumba. 
2. Dari cerita rakyat dapat dipastikan bahwa dulu Sumba selalu disinggahi perahu/kapal pedagang. Bahwa orang Sumba juga diajak untuk berlayar. Diceritakan mereka menyinggahi pelabuhan tujuh kali. Barangkali itulah Sabu, Timor, Flores, Sumbawa, Lombok, Bali dan Jawa. Pada abad ke-16 dikisahkan ada kapal-kapal yang membawa emas dari kepulauan Kuria-Muria dan menukarnya dengan kuda Sandlewood, sehingga sebelum pendudukan Jepang ada bangsawan Sumba yang memiliki emas sampai 100 kg. 
3. Adanya dua tokoh yakni, Umbu Ndilu dan Umbu Mada (Sumba Timur), atau Rato Ndelo dan Rato Mada (Sumba Barat) dalam cerita rakyat Sumba. Rato dan Umbu merupakan gelar bangsawan. Bandingkan ratu dengan empu di Jawa. Kedua tokoh yang merupakan kakak beradik ini (dalam cerita Sumba) selalu muncul dalam sikap perkasa. Gagah, berani, berwibawa, lagi cakap. Begitu kentalnya nama kedua orang ini hingga diabadikan dalam nama-nama orang Sumba bahkan hingga saat ini. Banyak orang Sumba yang memakai nama Ndilu Hamaratu, Mada Lughu, Palonda Mada. 
4. Suku Kodi di Sumba Barat Daya mengabadikan salah satu tokoh dalam marga besar yang disebut Walla Mada (turunan Mada). 
5. Rato Ndelo dan Rato Mada Dalam bahasa suku Kodi, kedua tokoh itu selalu disanjung dalam ungkapan, ”Ndelo ana Rato, Mada Pera Konda” yang bermakna Ndelo Putra Bangsawaan, Mada Nahkoda Agung. 
6. Suku Kodi, merayakan pesta Nale yang ditandai dengan pasola/paholang (perang-perangan) mengingatkan kita pada pasawoan di Jawa. Disini juga ada keraguan jika Nale disamakan dengan Nala, meskipun Nale berasal dari laut yang ditandai dengan datangnya cacing Wawo. Karena Nale ini dianggap Dewi Padi (Biri Koni) yang dapat disamakan dengan Dewi Sri di Jawa. 
7. Di kecamatan Tabundung Sumba Timur ditemukan nama Majapahit dan Hayam Wuruk yang menurut lafal sana diucapkan sebagai Manjapalit dan Mehanguruk. Keduanya nama orang, karena menurut cerita rakyat Tabundung justru nenek moyang mereka yang lebih dekat dengan Patih Gajah Mada (apalagi letak daerah mereka dipinggir pesisir yang banyak pohon Maja). 
8. Nama orang Sumba sama dengan nama-nama zaman Majapahit, yaitu : 
a) Rangga Wuni dan Rangga Lawe (kodi) 
b) Raga (Loli) 
c) Pati, Maha Pati (Kodi), 
d) Pati (Loli), 
e) Sore (nama zaman Majapahit), f) Hore/Hora, 
g) Siwa Bala, 
h) Langga (Erlangga), 
i) Ndara Moro (Dara Jingga).

9. Kata dalam bahasa Jawa yang di gunakan dalam nama-nama suku di sumba : 
a) Kodi : Pati Jawa, Muda Dawa, Rehi Jawa, Tari Jawa, Biri Jawa. 
b) Sumba timur : Nggaja, Nggading/Nggeding , 
c) Laura : Gaja, Mada.

10. kebudayaan Jawa yang sama dengan kebudayaan sumba seperti bentuk tombak, gong (gamelan), rumah joglo dengan soko gurunya, yaigho/zaizo (Jawa: Wayang). 
11. Beberapa kata dalam bahasa Sumba yang sama dengan bahasa Jawa. 
a) halaku/laku dengan mlaku (pergi), 
b) manduru/mahuru/dura dengan turu (tidur), 
c) walu-wolu (delapan), 
d) ughi-uwi (ubi), 
e) kurang-urang (udang), 
f) pira-piro (berapa), 
g) manat-manut (ikut), 
h) rennge-rongu/rungu (dengar), 
i) langgi/langga-legi (manis), 
j) wula/wulang-wulan (bulan), 
k) ahu-asu (anjing), 
l) pena/peina-piye (bagaimana), 
m) kalambe/kalembi-klambi (baju), 
n) umah-omah (rumah), 
o) tallu/tollu-tollu (tiga), 
p) patu/pata-papat (empat), 
q) malara-lara (sakit).

Dari uraian di atas ada kemungkinan nama Mada dan Nggaja ada kaitannya dengan Gajah Mada, Nola dengan Nala, sedangkan Ndelo/Ndilu mungkin juga ada kaitannya dengan Nala. Manjapalit dan Mahanguruk adalah nama Majapahit dan Hayam Wuruk prabu Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389 dengan nama Rajasanagara. 
Keberadaan majapahit dan mahapatih gaja mana di sumba masi memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan memerlukan bukti otentik lainnya.
Andre Graff  “PAHLAWAN DARI PRANCIS UNTUK LAMBOYA”

Andre Graff adalah seorang warga Prancis, tepatnya kelahiran Alsace – Munster – Prancis tanggal 24 Juli 1957 Selama lebih dari 20 tahun, Andre Graff menghabiskan waktunya di langit berbagai negara dengan menggunakan balon udara karena ia berprofesi sebagai pilot balon udara namun ia lebih memilih meninggalkan negara asalnya dan juga meninggalkan segala kemapanan hidup di negerinya demi berpetualang dan lalu menetap di sebuah wilayah timur Indonesia, yaitu daerah Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 
Pria alumni Fakultas Biologi, Universitas Strassbourgh, Prancis ini adalah sosok yang pernah melewati karier sebagai pelatih pilot dan juga pemimpin sebuah perusahaan pariwisata demi mendukung pariwisata di Perancis. Tahun 2003 ia memutuskan resign dari segala pekerjaannya di Perancis dengan alasan menderita penyakit Lymd atau boreliose, satu penyakit yang disebabkan serangan virus serangga yang masuk pada aliran darah, yang bisa saja menyebabkan kematian karena kemampuannya mematikan syaraf otak. Tahun 1990 dan 2004, Graff mengunjungi Bali sebagai turis. Dari Bali dia menyewa perahu layar dan bersama tujuh wisatawan asing dari sejumlah negara menjelajahi beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT), seperti Sabu Raijua, Sumba, Solor, 
Saat itu Graff berjanji akan mengirimkan foto yang mereka buat kepada warga setempat. Jumlahnya mencapai 3.547 lembar, seberat 25 kilogram. Agustus 2004, ia memutuskan mengantar sendiri foto tersebut kepada sejumlah warga di NTT. Juni 2005, dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat Ledetadu. Warga di kampung itu kesulitan air bersih. untuk mengambil air sumur di dataran rendah. 
Hatinya terketuk ketika Setiap hari menyaksikan para perempuan dan anak-anak kecil harus berjalan kaki terengah-engah akibat menempuh perjalanan berkilo-kilometer dan juga mendaki gunung demi memperoleh air untuk keperluan sehari-hari di siang bolong. Dari sini Graff juga menyaksikan bahwa akibat tiadanya air bersih ini maka anak-anak kecil juga tidak mandi, sementara kebanyakan masyarakat pada akhirnya juga melakukan MCK secara sembarangan. Keadaan ini tak pelak hanya menimbulkan serangkaian penyakit yang menimpa warga di perkampungan adat itu sendiri. Sebagai contoh adalah bisul, TBC, malaria, gatal-gatal, dan masih banyak lagi. Keprihatinan itu pada akhirnya membuat Graff sukarela turun tangan untuk membantu warga demi mengatasi kesulitan dalam mendapatkan air. Andre pun berhasil mengatasi kekurangan air masyarakat kampung di sabu raijua berkat sumur buatannya dan sekarang mereka bisa membuat sumur sendiri.

Dari Sabu Pindah ke Lamboya, Sumba Barat 
pada akhir tahun 2007 Andre memutuskan untuk hijrah menuju Lamboya, salah satu daerah di Sumba Barat. Tepatnya di Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya – Sumba Barat. 
Di Lamboya, Andre bertempat tinggal dengan seorang Kepala Suku atau lebih dikenal dengan istilah ‘Rato,’ dan kemudian tetap melanjutkan misinya dalam membuat sumur untuk warga. Bahkan di kampung ini ia juga membentuk satu kelompok yang beranggotakan sembilan pemuda dengan program kerja membuat gorong-gorong. Mereka tergabung dalam kelompok GGWW, yaitu “Gorong-gorong Waru Wora.” 
Dari komunitas GGWW ini, selain membangun sumur, Andre juga mengembangkan sayapnya yaitu berupa pembuatan filtrasi air, dengan tujuan agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa memasaknya lebih dulu. Hal itu didasari pada penghematan waktu, dan juga pengurangan kerusakan serta pencemaran lingkungan sebab masyarakat tidak akan lagi butuh memasaknya menggunakan kayu bakar. Langkah Andre dalam meminimalisir terjadinya polusi juga dilakukan dengan cara memanfaatkan energi matahari guna menaikkan air dari lembah menuju ke permukaan dan disebarkan ke area perkampungan. Demi mendapatkan pengetahuan mengenai hal itu, maka Andre juga tak sungkan untuk pergi ke pulau Bali dan menjumpai seorang ahli tenaga matahari di Denpasar. Selanjutnya mereka bersama-sama melakukan evaluasi terhadap air sumur dan permukiman warga Sumba, hingga terbentuklah Pilot Project Waru Wora (PPWW) yang kali ini memiliki proyek berujud sinar sel. 
 
Kehidupan Andre Graff di Sumba 
Masyarakat Sumba memanggilnya ”Andre Sumur”. Warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, menyapa dia Amaenudu, orang yang baik hati. Ini karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua. Andre Graff harus banyak mengeluarkan biaya demi menjalankan misi-misinya, sebagai contoh adalah harus mengeluarkan dana sendiri sebesar 22 juta rupiah setiap tahun demi biaya visa, sedangkan demi kehidupan sehari-hari dan juga menambah biaya kerja, iapun rela merogoh kocek pribadi yang salah satunya didapatkan dari hasil sewa rumahnya di Prancis.

Minta Dikubur di Sumba 
Jika kelak meninggal, Andre berkeinginan untuk dikuburkan di Sumba bersama rakyat-rakyat jelata yang sangat dihormatinya. Bahkan Andre juga telah menandatangani surat persetujuan dengan Kedutaan Besar Prancis agar jasadnya tidak dikirim pulang ke Prancis. Biasanya pemerintah akan mengirim tubuh almarhum kembali ke rumah . Saya telah mengatakan tidak perlu . Saya ingin pergi ke tanah orang-orang miskin dengan biaya termurah . Tubuhku tidak memiliki makna, tapi saya harap tindakan saya di sini melakukan .

Dia adalah pahlawan bagi masyarakat sumba, sosok laki-laki asal Prancis yang mencurahkan hatinya pada satu daerah timur Nusantara dan lantas mendedikasikan hidupnya di sana. Ialah pria asal Prancis bernama Andre Graff.



Minggu, 07 Desember 2014

RUMAH TRADISIONAL SUKU LOLI, (SUMBA BARAT)

Sumber utama terciptanya arsitektur rumah Suku Loli terwujud karena adanya kepercayaan kepada roh nenek moyang atau MARAPU, rumah adat tidak hanya di gunakan sebagai tempat tinggal tetapi juga di gunakan untuk menghubungkan dunia sang pencipta dan manusia yang mendiami rumah tersebut. Rumah dibangun dengan menara yang tinggi dengan dua kayu tegak di dua sisi yang melambangkan leluhur laki-laki dan perempuan, kedua kayu tegak tersebut di yakini berguna sabagai pintu masuk leluhur agar dapat memberkati dan menjaga sang penghuni rumah. Arsitektur tradisional sumba merupakan perwujudan dari keseluruhan kehidupan masyarakat baik dalam hubungan dengan kepercayaan, dengan struktur sosial budaya, dalam kaitan hubungan kekeluargaan, serta dalam kaitan kehidupan sejak lahir sampai akhir hayat dan sejak masa nenek moyang hingga masa kini. 
Bentuk denah rumah adat berbentuk persegi dengan panjang dan lebar yang hampir sama, Pembagian rumah menjadi 3 bagian secara vertikal dapat dilihat pada bentuk fisik rumah Suku Loli. Rumah suku Loli di bagi menjadi tiga tingkat utama yang memiliki fungsinya masing-masing, yaitu :
1. Sallukabungga (kolong rumah), berfungsi sebagai tempat ternak seperti babi, kuda dan kerbau. Bentuk rumah suku Loli yang berupa rumah panggung mengakibatkan adanya ruang di bawah lantai yang cukup tinggi. bagian bawah rumah digunakan untuk kandang hewan ternak seperti babi dan ayam. Bagian bawah dapat juga digunakan untuk menyimpan kayu-kayu dan peralatan-peralatan bertani. Sisa-sisa bahan makanan atau bahan memasak juga dibuang melalui celah-celah bambu ke bawah agar dapat dimakan oleh hewan ternak seperti babi.
2. Rongu Uma (tingkat kedua), berfungsi sebagai tempat tempat memasak, tempat tidur keluarga, tempat mencuci perlengkapan makan, tempat air dan sebagai tempat penyimpanan alat-alat rumah tangga sehari-hari. Tingkat kedua juga di gunakan untuk upacara adat, berdoa (Nobba), upacara perkawinan dan upacara-upacara lain dalam adat. pusat rumah suku Loli selalu terdapat perapian (Rabuka) yang posisinya tepat diantara empat tiang (pari’i uma) utama rumah yang di gunakan untuk memasak. Asap dari perapian juga berguna untuk mengasapi dan mengawetkan makanan di dalam lemari gantung, juga dapat membunuh serangga-serangga dan mengawetkan material struktur rumah. Perapian juga dapat menghangatkan suhu rumah di malam hari dan mengusir nyamuk, karena memang Sumba merupakan daerah yang dingin dan banyak nyamuk. Bagian kanan rumah biasanya digunakan untuk bilik-bilik tempat tidur (Koro Uma) anggota keluarga pria dan bagian kiri rumah (Kere Padalu) menjadi area menjadi wanita karena di gunakan untuk mencuci dan menyimpan peralatan rumah tangga. Dinding pada bagian depan rumah juga di gunakan untuk memajang tanduk kerbau dan tulang rahang babi yang di korbankan pada acara-acara kematian, pembangunan rumah adat, pesta pernikahan dan acara-acara adat lainnya, tanduk kerbau dan tulang rahang babi dibersihkan dan dipajangkan sebagai penghias rumah tradisional.Semakin banyak hiasan tanduk kerbau dan tulang rahang babi yang dipajangkan menunjukkan bahwa pemilik rumah dimaksud tergolong tinggi status sosialnya.
3. Toko umma (menara rumah) merupakan tempat tinggal Marapu yang hadir dalam wujud benda pusaka yang dianggap keramat dan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, jagung dan ubi-ubian. loteng pada menara rumah disebut juga uma dana bagian yang paling sakral dalam rumah selain sebagai tempat menyimpan cadangan makanan juga di gunakan untuk menyimpan benda pusaka Marapu karena dianggap roh-roh nenek moyang bersemayam di tempat tersebut. 
Bagian terdepan dari rumah adat suku Loli merupakan teras memanjang (Baga Aro) terdiri dari serambi depan dan ruang-ruang terbuka yang dapat digunakan untuk menerima tamu dan menenun kain untuk perempuan yang merupakan area formal (umum) sedangkan bagian belakang merupakan area informal (khusus pemilik rumah). teras untuk kaum wanita terletak di kiri rumah, sehari-hari bersifat informal namun menjadi formal saat upacara adat, pernikahan atau pemakaman. Bagaian depan rumah selalu mengahadap natar, yaitu ruang terbuka di tengah perkampungan yang digunakan untuk meletakkan kubur batu (Watu Odi) dan menyembelih (Teba) kerbau, kuda, sapi dan menikam babi (tawe Wawi) apabila ada acara adat seperti kematian dan pesta adat sang pemilik rumah.

Bahan-bahan utama yang di gunakan dalam pembuatan rumah tradisonal suku Loli, yaitu :
a. Alang (Ngaingo) untuk atap rumah;
b. Bambu (Wo’o) untuk dinding dan lantai;
c. Kayu (wasu) untuk tiang dan struktur bagunan;
d. Rotan (uwe) untuk mengikat.

Semua Bahan-bahan untuk pembuatan rumah tersebut bagi kayu dan bambu yang tersambar kilat tidak boleh di gunakan dalam pembuatan rumah suku Loli, karena bertentangan dengan adat dan juga ada kayu-kayu tertentu yang tidak bisa di gunakan dalam pembuatan rumah suku Loli karena di percaya bisa membawa mara bahaya bagi pemilik rumah. 
Bagi rumah adat suku Loli dalam acara wulla Poddu (bulan suci Marapu) lebih sakral fungsinya dari rumah tradisional lainnya dan lebih banyak peraturan-peraturan adat yang tidak boleh di langgar pemilik rumah dan tamu, salah satu contohnya ada bagian-bagian tertentu dalam rumah yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain selain Rato (pendeta), pintu bagian depan rumah tidak boleh di lewati oleh kaum perempuan dan juga bagian depan rumah (Natar) yang tidak boleh di injak oleh orang lain kecuali Rato adat. Apabila melanggar di kenakan sanksi adat yang berlaku. 








Kamis, 04 Desember 2014

FARAH QUINN
Berlibur sambil kegiatan amal, jarang ada artis seperti ini...farah masi memperdulikan anak-anak yang berada di Lamboya kabupaten Sumba Barat, terima kasih mba farah atas kunjungannya di daerah kami.
 
farah Quinn : pulau Sumba dan Nihiwatu so much. Pemandangan, suasana, resortnya, penduduk sekitar, budayanya, semuanya sangat mengesankan. Teman2 harus kunjungi pulau Sumba di bagian Timur Indonesia. Untuk kesana tinggal terbang dari Denpasar ke Bandara Tambolaka. I promise you will have an amazing time!