Minggu, 14 Desember 2014

Batu Kubur Megalitik di Sumba

Kubur batu merupakan warisan budaya megalitik di Tanah Sumba yang masih bertahan hingga sekarang bersama lestarinya aliran kepercayaan Marapu yang dianut warga Sumba. Kubur batu atau batu kubur dalam istilah arkeologi disebut dolmen biasanya berbentuk bejana (kabang) maupun watu pawa’i. Dalam budaya prasejarah, kubur batu merupakan budaya megalitik muda yang berkembang di Nusantara menjelang tarikh Masehi. Para arkeolog memberikan julukan kepada pulau Sumba yaitu The Living Megalithic Culture, tidak berlebihan juga karena tradisi megalitik (batu besar) yang muncul sekitar 4500 tahun lalu masih setia dipraktekkan. Kubur batu di sini senantiasa dibuat besar dan megah, selain sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur juga sebagai cerminan status pemiliknya.

Berdasarkan bentuknya tinggalan megalitik di Sumba dapat dibedakan menjadi enam jenis yaitu:
1. Watu pawa'i
Batu kubur besar berupa meja batu (dolmen) yang ditopang oleh beberapa batu bulat yang berfungsi sebagai kaki atau penyangga. Watu pawa'i ada yang berkaki 4, bekaki 6 bahkan ada pula yang berkaki banyak. Biasanya menjadi kuburan raja-raja dan golongan bangsawan. Akan tetapi watu pawa'i ini tidak selalu menjadi kuburan, ada juga yang dibangun hanya sebagai monumen agung. Yang berfungsi sebagai kuburan biasanya dilengkapi batu kubur berukuran lebih kecil yang ditempat persis di bawah watu pawai. 
2. Watu Kuoba 
Berupa batu utuh yang dipahat membentuk peti dengan lempengan batu lebar sebagai penutup. Batu jenis ini ada yang berhias ada pula yang tidak. Pola hiasnya lebih sederhana dan terletak pada bagian peti batu. Ko'ang umumnya dipakai sebagai kuburan golongan menengah dan keluarganya.
3. Koro Watu
Batu kubur jenis ini terbentuk dari 6 lempengan batu yang disusun menjadi peti batu. 1 sebagai dasar, 1 sebagai penutup dan 4 lainnya diletakkan di masing-masing sisi. Koru Watu biasanya langsung diletakkan di atas tanah tanpa perlengkapan lainnya.
4. Kurukata
varian lain dari Koro Watu dengan dua lempeng penutup bagian atas yang ditumpuk jadi satu.
5. Watumanyoba
Bentuknya sederhana, hanya berupa lempengan batu tanpa kaki yang langsung diletakkan di tanah. Ada beragam model Watumanyoba: lempengan segi empat, persegi panjang, bulat telur dan lainnya. Watumanyoba umumnya digunakan sebagai kuburan para hamba, sehingga sering kali ditemukan bersisian dengan kuburan para raja.
6. Kaduwatu 
Batu tegak lurus (penji) berhiaskan beragam ukiran. Biasanya merupakan pasangan batu kubur lain, terutama dari jenis Watu Pawa'i. Berfungsi sebagai pernanda arah kepala atau kaki si mayat sekaligus sebagai simbol bangsawan. 
Upacara tarik batu merupakan rangkaian prosesual dari upacara penguburan tradisi megalitik, yang berlangsung secara eksotis, karena sudah jarang terjadi dan berlangsung di tengah masyarakat modern, yang dibalut pekat dalam tatanan budaya megalitik, budaya batu besar yang berasal dari akhir masa prasejarah. Sebelum menginjak pada upacara tarik batu tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan jenis-jenis bangunan megalitik di kedua daerah tersebut, demi diperolehnya gambaran yang lebih intens tentang pemujaan arwah leluhur, benda-benda megalitik, dan upacara tarik batu dalam proses pendirian bangunan-bangunan batu besar tersebut. 
Tinggalan-tinggalan megalitik di Sumba sebagian besar berwujud kubur-kubur watu pawa'i berupa kubur batu besar berbentuk meja batu (dolmen) yang ditopang beberapa batu bulat sebagai penyangga berjumlah 4 atau hingga lebih. 
Budaya megalitik di Pulau Sumba bukan hanya terlihat jelas dari kubur batu melainkan juga diresapi secara nyata dari aliran kepercayaan Marapu yang mereka anut. Kepercayaan asli orang Sumba ini bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang serta meyakini roh-roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dan Sang Pencipta. Oleh karena itu, orang Sumba tidak pernah bisa jauh dari kerabat yang telah meninggal dan untuk menjaga kedekatan itu mereka mendirikan batu kubur tepat di depan rumahnya. Rumah adat dan batu kubur merupakan satu paket adat budaya Sumba yang tidak terpisahkan, rumah sebagai tempat tinggal yang masih hidup dan batu kubur sebagai tempat tinggal yang telah telah meninggal. Letak kubur yang umumnya di depan rumah juga menjadikan keluarga yang masih hidup senantiasa teringat kepada leluhurnya yang telah meninggal dan memudahkan mereka untuk mengirim doa dan sesaji (sirih pinang). 
Prosesi penarikan kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton. Mereka bekerja tanpa imbalan uang, namun penyelenggara upacara berkewajiban menyediakan konsumsi makanan selama upacara berlangsung dan menyediakan hadiah daging bagi para penarik batu. 
Batu kubur ini sendiri bukan hanya menjadi salah satu elemen penting dalam upacara kematian dan juga bukan hanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Sumba. Akan tetapi batu kubur ini juga menjadi alat atau benda yang dapat membuat status sosial seseorang menjadi tinggi atau berbeda dengan orang lain. Hal ini dikarenakan tidak semua golongan masyarakat yang dapat membuat dan memiliki batu kubur tersebut, karena dalam proses pembuatan sampai pada proses penarikannya membutuhkan biaya yang sangat besar, waktu yang relative lama dan juga membutuhkan tenaga yang sangat banyak. Oleh karena itu orang yang ingin membuat batu kubur ini perlu perencanaan yang matang dan dukungan penuh dari keluarga dan kerabat, sehingga bisa memperoleh hasil yang maksimal. 
persiapan upacara tarik batu dilakukan lebih rumit dan memerlukan persiapan matang karena obyek yang ditarik adalah batu kubur yang berukuran besar dan sangat berat. Di lokasi asal batu, beberapa tukang kayu membuat dua gelondong kayu bulat utuh yang ukurannya disesuaikan dengan batu yang akan ditarik. Kedua ujung kayu disatukan dan dibentuk menyerupai kepala kuda diberi kerangka kayu berbentuk empat persegi panjang mengelilingi batu. Paji adalah bentangan kain berwarna putih, sedangkan bendera berupa kain-kain tenun motif asli Sumba yang merupakan sumbangan dari para kerabat. Paji dan bendera memiliki makna untuk ”memayungi” kubur agar selalu dingin dan teduh. Di Sumba, sesaat sebelum acara tarik batu dimulai, pemimpin proses tarik batu. Di atas batu disiapkan gong dan beduk sebagai alat musik untuk memberikan semangat kepada para penarik batu. Saat penarikan batu, sebagai alas digunakan kayu bulat sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda. Kayu-kayu bulat dengan diameter bervariasi tapi memiliki panjang rata-rata empat meter diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi seluruh jalan, karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali di depan hingga batu mencapai tempat pendirian kubur. 
Bagi orang Sumba, menyiapkan kubur batu sebagai tempat peristirahatan terakhir merupakan satu kebutuhan. Sungguh merupakan satu kebahagiaan yang sempurna, jika pada saat hidupnya, orang Sumba melihat secara langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak. Sebuah kubur batu yang megah dipercaya menjadi semacam kendaraan yang akan mengantar si mati ke dunia yang kekal. Melihat sebuah kubur yang kelak akan dipakai sebagai tempat jenazahnya, mendatangkan rasa nyaman dan prestise tersendiri, terlebih jika kubur tersebut terbuat dari monolith besar yang untuk menarik dan membuatnya menjadi kubur memerlukan biaya yang sangat besar. 
Pada masyarakat yang mengagungkan para leluhur, upacara kematian menduduki tempat yang istimewa. Mereka tidak segan mendedikasikan harta benda yang dimiliki untuk memuliakan arwah leluhur. Memotong banyak hewan kurban seperti kerbau dan babi hutan, telah menjadi sesuatu yang esensi, yang diyakini akan memperlancar perjalanan arwah ke alam baka. 
Seiring perkembangan Zaman seperti saat ini, Budaya pembuatan serta penarikan batu kubur pada masyarakat sumba sudah sangat jarang ditemukan,hal ini dikarenakan oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat saat ini yang merupakan akibat dari globalisasi, sehingga yang dapat melakukan upacara pembuatan dan penarikan batu kubur ini hanyalah keluarga bangsawan atau keluarga tertentu saja. 
Sebagian besar masyarakat Sumba sudah mulai menggunakan batu kubur yang terbuat dari beton.Hal ini sudah sangat jauh berbeda dengan budaya batu kubur besar ( megalitik ) yang sesungguhnya. Meskipun pembuatan batu kubur dengan bahan beton itu dibuat sangat mirip dengan batu kubur yang asli,namun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ritual pembuatan hingga penarikan batu kubur yang sesungguhnya sudah berkurang dan bahkan tidak ada nilai budayanya sama sekali,karena ritual pembuatan dan penarikan batu kubur yang sesungguhnya sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya para leluhur nenek moyang masyarakat Sumba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar